Senin, 13 April 2015

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MADURA


         MADURA salah satu pulau di Jawa Timur yang terdri dari empat kabupaten. Bangkalan, Sampang, Pamenkasan, dan yang paling ujung timur Sumenep. Dengan empat kabuapten tersebut Madura memiliki kekayaan bahasa. Kebanyakan orang Madura tidak mengerti bahasa Jawa, meski Madura masih termasuk dari pulau Jawa. Akan tetapi bagi masyarakat jawa sendiri, seperti Situbondo misal; separuh masyarakat Situbondo banyak yang menggunakan bahasa Madura. Selain itu, masyarakat mandura sendiri masih sangat kental keperayaannya terhadap kebudayaan. Terlepas dari budaya agama. Toh, pada kenyataannya Madura walau dikenal dengan pesantrennya, di Madura sendiri juga ada banyak agama yang sesui dengan ketentuan agama Negara Indonesia. Hukum adat yang tersimpan dijiwa masyarakat Madura masih dilestarikan. Mereka(masyarakat) Madura menjaga itu semua dengan penuh kearifan.
            Saya sebagai orang Madura asli. Lahir di Madura, besar di Madura, dan mungkin mati di bumi Madura merasakan ada pembeda yang sangat jauh dengan wilayah lain selain Madura. Dalam hal ini bukan dimaksudkan untuk menyinggung ataupun melemahkan wilayah lain selain Madura. Namun saya hanya akan lebih memfokuskan pada wilayah Madura.
            Berangkat dari sejarah kancing. Bagi orang Madura kancing bukan hanya sekedar penutup baju supaya rapi. Bahka mode sakarang kancing sudah dimodifikasi dengan beragam bentuk. Saya tidak ingin membahas kancingnya. Di dalam diri masyarakat Madura ketika melihat anak Madura yang membuka kancing dibagian dadanya, maka akan diberi masukan oleh keluarganya(bapak/ibu) untuk segera memasang kancing. Bagi masyarakat Madura jika ada sebagian dari masyarakatnya yang membuka kancing bajunya maka akan di cap bahwa dia sombong. Entah ini lahir dari mana asal mulanya pemikiran mereka tentang dada dan kancing? Kita pasti tahu kenapa dada itu dilindungi, selain menjadi tempat jantung berdetak, ternyata dada mampu melambangkan sebuah amarah. Ketika seseorang mulai marah akan memukuli dadanya dengan kepalan tanngan. Orang Madura sendiri sangat tidak menyepakati hal yang demikian.
            Selain kancing, ternyata sarung juga menjadi ciri khas orang Madura. Mungkin bila orang luar Madura masuk kewilayah Madura akan menemukan banyak sekali orang bersarung dan bersongkok Nasional. Sarung ternyata memiliki multi fungsi bagi orang Madura. Selain menjadi pakaian yang digunakan saat melaksanakan ibadah sholat, sarung biasa dgunakan untuk selimut dikalangan santri. Menjadi selimut. Kalimat yang mungkin akan dibaca sebagai sebuah anekdot. Namun memang benar, anekdot yang nyata dan bermanfaat. Kain katun yang dijadikan sarung ternyata memang mampu memberi kehangatan dibandingkan dengan kain-kain yang lain.
            Sekilas kisah saya pada saat masih berusia kelas tiga SD. Bapak saya sudah membelikan saya sarung, sekaligus beliau mengajari saya bagamaina cara bersarung dengan baik. Pada saat itu sarung dibeli Bapak saya ternyata kebesaran. Tubuh saya yang pendek dan kurus menjadi kesulitan saat sarung coba dipakai. Akhirnya kegigihan beliau untuk menanamkan budaya bersarung kepada saya berhasil. Pada saat itu ujung sarung yang baru saja dibeli digunting biar sama dengan postur badan saya.
ORANG MADURA KERAS?
            Kerap kali permasalahan di Madura pasti berujung kekerasan. Penyelesaian hukum sudah banyak mempercayai kekerasan. Umumnya yang banyak dikenal adalah tradisi carok yang biasa diperbincangkan banyak orang. Kejadian Sampit dan Madura juga tidak memalingkah wajah orang dari luar Madura, bahwa orang Madura itu keras. Apalagi pada saat ini saya berada diluar Madura. Menjadi putera daerah yang menimba ilmu ke daerah Jawa Tengah, tepatnya di Yogyakarta. Seya benar di eksikusi dengan pertanyaan seputar kekerasan di Madura.
            Carok, yang dianggap sebuah tindakan kekerasan oleh banyak orang. Saya tidak dapat membalikkan wajah dengan pernyataan tersebut. Lantas carok sudah jatuh pada dua pondasi yang menurut saya sama kuat. Pertama dari makna sejarah carok dilahirkan dengan tujuan mencapai sebuah perdamaian. Dilain sisi, carok membuktikan dengan tingkah lakunya yang membabi buta. Bagi saya tidak ada kekerasan yang bisa dibenarkan. Selagi itu berbau kekerasan maka itu adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan.
            Ironisnya teman-teman saya di PMII Sleman menghadirkan redaksi yang mengerikan dari alat carok itu. Lantas apa bedanya pembunuhan menggunakan celurit dengan menggunakan pistol? Apa karena pistol itu adalah modern? Padahal jika berkaca pada banyaknya pertumpahan darah, pistol mampu menghabiskan sepuluh orang sekaligus dengan waktu cepat. Tapi mengapa mereka tidak merasa ngeri? Justeru celurit yang merupakan produk daerah dipandang kengeriannya.
            Perlu disampaikan kronologis carok pada saat sebelum kemerdekaan. Carok sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Budaya carok dilaksanakan untuk mencari sebuah penyelesaian masalah. Umumnya masalah yang menggunakan penyelesaian carok pada saat itu rata-rata persoalan isteri(perempuan). Namun, sebelum pada tahap pertandingan. Dari masing-masing pihak masih ada waktu untuk berunding secara baik-baik. Carok sendri sudah menjadi tahap penyelesaian permasalahan yang paling akhir. Adanya tempat untuk pertandingan carok, warga dapat menonton carok, adanya waktu untuk keduanya sama-sama mencari kekebalan atau tanggal baik untuk pelaksanaan carok. Jadi diantara orang yang mau bercarok itu sudah benar-benar siap(Dr. A. Latief Wiyala).
            Maka jika dilihat dari kenyataan sekarang ini. Pelaku carok bahkan lebih pada masalah malu. Malu disini bukan hanya menyangkut keprbadiannya sebagai laki-laki Madura, melainkan juga dalam mempertahankan martabat keluarga. Orang Madura sendiri tidak bisa mencegat perkembangan carok, yang saat ini adalah carok kontemporer. Karena bagi orang Madura jika itu untuk mempertahankan keutuhan keluarganya maka itu dikukung. Salah satu contoh terkecil dari yang banyak memicu terjadinya carok adalah berawal dari perselingkuhan. Dalam hal ini orang Madura ango’an potea tolang katembheng pote tolang arti bebasnya kira-kira begini “mending putih tulang dari pada putih mata”. Kalimat itu sudah mendorong jiwa masyarakat Madura untuk berprilaku tidak baik terhadap sesamanya.
            Apalagi akhir-akhir ini didekat rumah saya banyak maling yang dibunuh dan dibakar. Kejadian itu berangkat dari keresahan hati masyarakat yang hampir setiap malam tidak bisa tidur karena rame dengan penculikan sapi. Sebenarnya hukum itu terlalu kejam menurut saya. Perlu adanya ketegasan ketegasan polisi untuk menegakkan aturan itu. Sekali lagi saya melihat ketika kejadian-kejadian sadis itu timbul, ya karena polisi sendiri tidak terlihat perannya oleh masyarakat. Sehingga masyarakat secara serentak membuat hukum sendiri dalam tatanan kelompok sosialnya.
KEARIFAN LOKAL
            Masyarakat Madura bukan masyarakat yang keras. Kalimat itu yang sering saya tembakkan terhadap banyak pertanyaan-pertanyaan teman-teman yang bukan dari Madura. Madura punya istilah Rampak naong beringin Korong(sejuk dan rindang, seperti pohon beringin). Falsafah itu ternyata mampu merangkul tubuh masyarakat Madura. Dengan meminjam istilah pohon beringin(bukan politis) siapa pun dapat berteduh dibawahnya dengan menikmati desir angin yang setia membelai tubuh mereka. Salah satu buktinya adalah seperti yang saya katakana di awal tulisan ini, agama apapun bisa berkembang di Madura. Dari kaum Cina sampai Arab memiliki kampung sendiri di Madura. Hal ini yang diwariskan oleh leluhur Madura bahwa kedamaian tetap wajib dijaga.
            Orang Madura sangat senang berkumpul. Sampai lahir istilah kompolan (sarana berkumpul dengan kajian-kajian keagamaan sekaligus budaya). Bagi masyarakat Madura berkumpul bersama diibaratkan dengan beras. Gabah tidak mungkin menjadi beras(putih) jika ia tidak bergesekan satu sama lain. Maka berkumpul bagi orang Madura adalah sarana untuk membentuk diri menjadi putih suci/membenahi diri bersama.
            Banyak sekali keistimewaan dari Madura yang tidak bisa saya tulis disini. Mengenai kearifan lokal masyarakat Madura dapat juga dilihat dari solidaritas yang terjalin antar masyarakat.  Di Madura jika pagi-pagi berjakan di depan rumah warga Madura, pastilah akan ditawar secangkir kopi dengan rokok. Mau minum kopi saja tidak usah beli bila sudah tidak memiliki uang. Ada istilah Namoy(berkunjung), dalam aktivitas namoy seorang tuang rumah akan memberikan apa adanya yang dia punya. Masyarakat Madura benar-benar mengamalkan bahwa tamu adalah raja. Di sisi lain masyarakat Madura sangat mencintai kesederhanaan. Dengan kesederhanaan, masyarakat Madura menanam jiwa yang besar.
            Tulisan ini saya terinspirasi dari buku guru saya di MA Nasy’atul Muta’allimin yang berjudul Rahasia Perempuan Madura. K. A. Dardir Zubairi sudah menyulut saya untuk lebih mengenal bangsa saya sendiri(Madura). Mator sakalangkong..


4 komentar:

Berbagilah walau melalui kolom sederhana ini.