MADURA salah satu pulau di Jawa Timur yang terdri dari empat kabupaten.
Bangkalan, Sampang, Pamenkasan, dan yang paling ujung timur Sumenep. Dengan
empat kabuapten tersebut Madura memiliki kekayaan bahasa. Kebanyakan orang
Madura tidak mengerti bahasa Jawa, meski Madura masih termasuk dari pulau Jawa.
Akan tetapi bagi masyarakat jawa sendiri, seperti Situbondo misal; separuh masyarakat
Situbondo banyak yang menggunakan bahasa Madura. Selain itu, masyarakat mandura
sendiri masih sangat kental keperayaannya terhadap kebudayaan. Terlepas dari
budaya agama. Toh, pada kenyataannya Madura walau dikenal dengan
pesantrennya, di Madura sendiri juga ada banyak agama yang sesui dengan
ketentuan agama Negara Indonesia. Hukum adat yang tersimpan dijiwa masyarakat
Madura masih dilestarikan. Mereka(masyarakat) Madura menjaga itu semua dengan
penuh kearifan.
Saya sebagai orang
Madura asli. Lahir di Madura, besar di Madura, dan mungkin mati di bumi Madura
merasakan ada pembeda yang sangat jauh dengan wilayah lain selain Madura. Dalam
hal ini bukan dimaksudkan untuk menyinggung ataupun melemahkan wilayah lain
selain Madura. Namun saya hanya akan lebih memfokuskan pada wilayah Madura.
Berangkat dari
sejarah kancing. Bagi orang Madura kancing bukan hanya sekedar penutup baju supaya
rapi. Bahka mode sakarang kancing sudah dimodifikasi dengan beragam bentuk.
Saya tidak ingin membahas kancingnya. Di dalam diri masyarakat Madura ketika
melihat anak Madura yang membuka kancing dibagian dadanya, maka akan diberi
masukan oleh keluarganya(bapak/ibu) untuk segera memasang kancing. Bagi
masyarakat Madura jika ada sebagian dari masyarakatnya yang membuka kancing
bajunya maka akan di cap bahwa dia sombong. Entah ini lahir dari mana asal
mulanya pemikiran mereka tentang dada dan kancing? Kita pasti tahu kenapa dada
itu dilindungi, selain menjadi tempat jantung berdetak, ternyata dada mampu
melambangkan sebuah amarah. Ketika seseorang mulai marah akan memukuli dadanya
dengan kepalan tanngan. Orang Madura sendiri sangat tidak menyepakati hal yang
demikian.
Selain kancing,
ternyata sarung juga menjadi ciri khas orang Madura. Mungkin bila orang luar
Madura masuk kewilayah Madura akan menemukan banyak sekali orang bersarung dan
bersongkok Nasional. Sarung ternyata memiliki multi fungsi bagi orang Madura.
Selain menjadi pakaian yang digunakan saat melaksanakan ibadah sholat, sarung
biasa dgunakan untuk selimut dikalangan santri. Menjadi selimut. Kalimat yang
mungkin akan dibaca sebagai sebuah anekdot. Namun memang benar, anekdot yang
nyata dan bermanfaat. Kain katun yang dijadikan sarung ternyata memang mampu
memberi kehangatan dibandingkan dengan kain-kain yang lain.
Sekilas kisah saya
pada saat masih berusia kelas tiga SD. Bapak saya sudah membelikan saya sarung,
sekaligus beliau mengajari saya bagamaina cara bersarung dengan baik. Pada saat
itu sarung dibeli Bapak saya ternyata kebesaran. Tubuh saya yang pendek dan
kurus menjadi kesulitan saat sarung coba dipakai. Akhirnya kegigihan beliau
untuk menanamkan budaya bersarung kepada saya berhasil. Pada saat itu ujung
sarung yang baru saja dibeli digunting biar sama dengan postur badan saya.
ORANG MADURA KERAS?
Kerap kali permasalahan di Madura pasti berujung kekerasan.
Penyelesaian hukum sudah banyak mempercayai kekerasan. Umumnya yang banyak
dikenal adalah tradisi carok yang biasa diperbincangkan banyak orang. Kejadian
Sampit dan Madura juga tidak memalingkah wajah orang dari luar Madura, bahwa
orang Madura itu keras. Apalagi pada saat ini saya berada diluar Madura.
Menjadi putera daerah yang menimba ilmu ke daerah Jawa Tengah, tepatnya di
Yogyakarta. Seya benar di eksikusi dengan pertanyaan seputar kekerasan di
Madura.
Carok, yang
dianggap sebuah tindakan kekerasan oleh banyak orang. Saya tidak dapat membalikkan
wajah dengan pernyataan tersebut. Lantas carok sudah jatuh pada dua pondasi
yang menurut saya sama kuat. Pertama dari makna sejarah carok dilahirkan dengan
tujuan mencapai sebuah perdamaian. Dilain sisi, carok membuktikan dengan
tingkah lakunya yang membabi buta. Bagi saya tidak ada kekerasan yang bisa
dibenarkan. Selagi itu berbau kekerasan maka itu adalah sesuatu yang tidak bisa
dibenarkan.
Ironisnya
teman-teman saya di PMII Sleman menghadirkan redaksi yang mengerikan dari alat
carok itu. Lantas apa bedanya pembunuhan menggunakan celurit dengan menggunakan
pistol? Apa karena pistol itu adalah modern? Padahal jika berkaca pada
banyaknya pertumpahan darah, pistol mampu menghabiskan sepuluh orang sekaligus
dengan waktu cepat. Tapi mengapa mereka tidak merasa ngeri? Justeru celurit
yang merupakan produk daerah dipandang kengeriannya.
Perlu disampaikan
kronologis carok pada saat sebelum kemerdekaan. Carok sudah ada sebelum
Indonesia merdeka. Budaya carok dilaksanakan untuk mencari sebuah penyelesaian
masalah. Umumnya masalah yang menggunakan penyelesaian carok pada saat itu rata-rata
persoalan isteri(perempuan). Namun, sebelum pada tahap pertandingan. Dari
masing-masing pihak masih ada waktu untuk berunding secara baik-baik. Carok
sendri sudah menjadi tahap penyelesaian permasalahan yang paling akhir. Adanya
tempat untuk pertandingan carok, warga dapat menonton carok, adanya waktu untuk
keduanya sama-sama mencari kekebalan atau tanggal baik untuk pelaksanaan carok.
Jadi diantara orang yang mau bercarok itu sudah benar-benar siap(Dr. A. Latief
Wiyala).
Maka jika dilihat
dari kenyataan sekarang ini. Pelaku carok bahkan lebih pada masalah malu. Malu
disini bukan hanya menyangkut keprbadiannya sebagai laki-laki Madura, melainkan
juga dalam mempertahankan martabat keluarga. Orang Madura sendiri tidak bisa
mencegat perkembangan carok, yang saat ini adalah carok kontemporer. Karena
bagi orang Madura jika itu untuk mempertahankan keutuhan keluarganya maka itu
dikukung. Salah satu contoh terkecil dari yang banyak memicu terjadinya carok
adalah berawal dari perselingkuhan. Dalam hal ini orang Madura ango’an potea
tolang katembheng pote tolang arti bebasnya kira-kira begini “mending putih
tulang dari pada putih mata”. Kalimat itu sudah mendorong jiwa masyarakat Madura
untuk berprilaku tidak baik terhadap sesamanya.
Apalagi
akhir-akhir ini didekat rumah saya banyak maling yang dibunuh dan dibakar.
Kejadian itu berangkat dari keresahan hati masyarakat yang hampir setiap malam
tidak bisa tidur karena rame dengan penculikan sapi. Sebenarnya hukum
itu terlalu kejam menurut saya. Perlu adanya ketegasan ketegasan polisi untuk
menegakkan aturan itu. Sekali lagi saya melihat ketika kejadian-kejadian sadis
itu timbul, ya karena polisi sendiri tidak terlihat perannya oleh masyarakat.
Sehingga masyarakat secara serentak membuat hukum sendiri dalam tatanan
kelompok sosialnya.
KEARIFAN LOKAL
Masyarakat Madura
bukan masyarakat yang keras. Kalimat itu yang sering saya tembakkan terhadap
banyak pertanyaan-pertanyaan teman-teman yang bukan dari Madura. Madura punya
istilah Rampak naong beringin Korong(sejuk dan rindang, seperti pohon
beringin). Falsafah itu ternyata mampu merangkul tubuh masyarakat Madura.
Dengan meminjam istilah pohon beringin(bukan politis) siapa pun dapat berteduh
dibawahnya dengan menikmati desir angin yang setia membelai tubuh mereka. Salah
satu buktinya adalah seperti yang saya katakana di awal tulisan ini, agama
apapun bisa berkembang di Madura. Dari kaum Cina sampai Arab memiliki kampung
sendiri di Madura. Hal ini yang diwariskan oleh leluhur Madura bahwa kedamaian
tetap wajib dijaga.
Orang Madura
sangat senang berkumpul. Sampai lahir istilah kompolan (sarana berkumpul
dengan kajian-kajian keagamaan sekaligus budaya). Bagi masyarakat Madura
berkumpul bersama diibaratkan dengan beras. Gabah tidak mungkin menjadi
beras(putih) jika ia tidak bergesekan satu sama lain. Maka berkumpul bagi orang
Madura adalah sarana untuk membentuk diri menjadi putih suci/membenahi diri
bersama.
Banyak sekali
keistimewaan dari Madura yang tidak bisa saya tulis disini. Mengenai kearifan
lokal masyarakat Madura dapat juga dilihat dari solidaritas yang terjalin antar
masyarakat. Di Madura jika pagi-pagi
berjakan di depan rumah warga Madura, pastilah akan ditawar secangkir kopi dengan
rokok. Mau minum kopi saja tidak usah beli bila sudah tidak memiliki uang. Ada
istilah Namoy(berkunjung), dalam aktivitas namoy seorang tuang rumah
akan memberikan apa adanya yang dia punya. Masyarakat Madura benar-benar
mengamalkan bahwa tamu adalah raja. Di sisi lain masyarakat Madura sangat
mencintai kesederhanaan. Dengan kesederhanaan, masyarakat Madura menanam jiwa
yang besar.
Tulisan ini saya
terinspirasi dari buku guru saya di MA Nasy’atul Muta’allimin yang berjudul
Rahasia Perempuan Madura. K. A. Dardir Zubairi sudah menyulut saya untuk lebih
mengenal bangsa saya sendiri(Madura). Mator sakalangkong..
kasoon, salam situbondo
BalasHapuskalangkong tretan membantu tugas kuliah seni saya
BalasHapusMator glenon.. menambah keilmuan saya untuk kompetisi
BalasHapussami-sami😊💪
BalasHapus